Ada sebuah dongeng dari Jerman, tentang lomba menyanyi antara seekor burung Bulbul dengan seekor burung Tekukur. Satu-satunya binatang yang ada untuk menjadi wasit adalah seekor Keledai.
Burung Bulbul mendapat giliran pertama untuk menyanyi, ketika lagunya yang baik sekali mengumandang di hutan itu, keledai itu hanya menggerak-gerakkan daun telinganya yang panjang dan memandang dengan bodoh dan bingung. Kemudian burung tekukur mulai menyanyikan lagunya. Lagunya sangat sederhana, terdiri dari dua nada. Wajah keledai itu sekonyong-konyong tampak serius dan mencerminkan kekaguman, kemudian dia mulai mengangguk-angguk. Lagu inilah yang dipahaminya : Kuk gruuk, kuk-gruuk… sungguh tidak jauh beda dengan : Hii-hoo..hii-hoo.
Tidak heran bila keledai itu menilai perkutut itu sebagai penyanyi terbaik.
Demikianlah halnya dengan semua penilaian. Kita semua menilai sesuai dengan cara pandang kita sendiri yang terbatas, prasangka kita, dan ketidaktahuan kita.
***
Manusia mempunyai keterbatasan dalam mengetahui segala sesuatu. Artinya, manusia tidak sepenuhnya bisa tahu apa saja yang benar di dunia ini. Meski manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas, ia sendiri tak tahu sejauh mana batasan dirinya untuk menemui kebenaran. Manusia dapat mengetahui batasan dirinya jika ia terus merangsek maju untuk mencari kebenaran hingga ia tiba di titik dimana ia tak mampu lagi melangkah lebih jauh.
Namun, mengingat manusia memiliki keterbatasan yang inheren di dalam dirinya, setiap gerak maju manusia untuk menemui kebenaran selalu mengandung potensi kesalahan. Sederhananya, manusia harus berusaha mencari kebenaran dalam hidupnya sambil di saat yang sama terus-menerus mengakui bahwa ia bisa saja telah menarik kesimpulan yang salah soal apa yang benar itu. Cara pikir ini menjadi landasan penting bagi sikap toleran. Ketika kita memiliki niat untuk mengetahui apa yang benar sambil di saat yang sama mengakui keterbatasan diri kita, kita akan menjadi terbuka terhadap segala kritik dan dialog bersama orang lain yang barangkali punya pandangan berbeda. Harapannya, lewat dialog itu, tiap orang bisa saling mengkoreksi pandangan dirinya yang salah sambil di saat yang sama menambal kelemahan-kelemahan pandangan orang lain. Ringkasnya, dialog akan menjadi wahana bersama bagi masyarakat untuk mencari tahu apa yang benar bagi mereka.
Renungan Harian lainnya dapat dibaca di Sejenak Eling