Filosofi tentang bambu
(mengorbankan hidup untuk memberi hidup)
Seorang tukang kebun memiliki serumpun bambu di sudut kebunnya. Setiap tahun bambu-bambu itu bertambah tinggi dan kuat. Kemudian suatu hari tukang kebun itu memperhatikan bambu-bambu itu; dia berdiri di depan batang bambu yang tertinggi dan berkata, “Sobat, saya membutuhkan engkau.”
Kata bambu itu, “Tuan, pakailah saya seperti yang tuan inginkan, saya siap.”
Kemudian suara tukang kebun itu menjadi agak serius dan berkata, “Agar saya bisa memakaimu, engkau harus dibelah menjadi dua.”
Tentu saja bambu itu kaget. “Membelah saya? Mengapa? Saya adalah bambu yang paling baik di kebun ini. Jangan lakukan itu !!.. Pakailah saya seperti yang tuan kehendaki, tapi janganlah membelah saya.”
“Begini,.. jika saya tidak membelah kamu, saya tidak bisa memakaimu.”
Seluruh isi kebun itu terdiam, angin pun menahan nafasnya. Bambu yang anggun itu perlahan-lahan menundukkan kepalanya dan berbisik, “Tuan, jika itu adalah satu-satunya jalan untuk menggunakan saya, maka lakukanlah itu.”
“Tapi itu hanya sebagian dari semuanya,” kata tukang kebun itu. “Saya masih akan memotong semua cabang dan daunmu.”
“Ya Tuhan, semoga itu tidak terjadi pada diri saya!” kata bambu itu. “Hal itu akan merusak keindahanku. Tuan, kalau bisa janganlah pangkas cabang dan daun saya.”
“Jika saya tidak memangkas cabang dan daun itu, saya tidak bisa memakaimu.”
Matahari pun menyembunyikan wajahnya. Seekor kupu-kupu terbang dengan gelisah di sekitar pohon bambu itu. Bambu itu, yang merasa sangat terpukul, kemudian menyerah, “Tuan, potonglah saya.”
“Bambuku tersayang, saya masih harus lebih menyakitimu lagi. Saya harus mengambil hati dan bagian dalammu, jika tidak maka saya tidak bisa memakaimu.”
Bambu itu semakin menundukkan kepalanya dan berkata, “Tuan, potong dan pangkaslah saya sesuka tuan.”
Maka tukang kebun itu memotong itu, memangkas cabang-cabang dan daun-daunnya, membelahnya di tengah, dan mengosongkan semua bagian dalamnya. Lalu dia membawa bambu itu melalui sebidang tanah kering menuju ke sumber air. Dia menghubungkan bambu itu dengan sumber air itu dan air pun mengalir ke tanah kering itu, sehingga membuatnya menjadi subur.
Demikianlah, hanya bila bambu itu dipotong, dipangkas, dan dibelah, dia bisa menjadi sumber berkat yang melimpah bagi banyak orang.
***
Jika ia mati, ia akan menghasilkan buah banyak.
Hukum hidup berlangsung lewat kematian, orang yang mau menyelamatkan nyawanya, harus kehilangan nyawanya. Mati untuk hidup, kehilangan nyawanya untuk menyelamatkannya, itu hukum Kristus.
Jalan kemuliaan bagi Yesus berarti jalan sengsara, salib dan kematian, sebab hanya itu satu-satunya jalan menuju pada kemuliaan sejati, juga jalan bagi setiap insan, yang bersedia mengikuti jejak-Nya. Jalan itu sangat berat, sehingga kita hanya dapat menginginkan, dan dalam angan-angan menggambarkan jalan yang “lumayan”, yaitu tidak terlalu berat, biasa-biasa saja, dan kalau boleh banyak enaknya juga. Jalan Yesus, jalan para rasul, jalan para martir, para pertapa di padang gurun, meskipun itu persis jalan “mati untuk menghasilkan buah banyak”; itu bukan pilihanku : makanya kuserahkan pada yang lain saja. Kalau Yesus mengundang setiap orang untuk memikul salib-Nya dan mengikuti Dia, kebanyakan kita menjadi tuli, belaga bodoh, tidak mau mendengarkan “suara kejam” itu.
Kematian untuk menghasilkan buah banyak itu kematian sebagai jalan, bukan pelarutan atau pelenyapan hidup. Agar tumbuh hidup baru, hidup biji harus mati dulu, untuk berbuah banyak, benih yang sebiji harus mengalami mati. Manusia daging harus mati, agar bangkit manusia roh di bawah Roh Allah. Si Aku yang tinggi hati, yang ada pada kita semua itu pewaris dosa Firdaus, dosa Lusifer, dosa kesombongan. Si makhluk ini merasa terdorong untuk bersaing dengan Tuhan Penciptanya, dan demikian jatuh terpental keluar dan lingkungan Allah. Si Aku hitam, gelap dan buta ini harus tersingkir dulu, mati, agar lahir Aku yang hanya hidup di dalam Kristus sampai si Aku sendiri akhirnya sampai “mengaku” : “tidak lagi aku hidup, melainkan Kristus di dalam diriku”. Ini kematian mulia, karena melahirkan manusia roh di dalam Sang Manusia Kristus Yesus : manusia berjiwa baru, yang hanya digerakkan oleh Roh dan berdoa dalam Roh, berseru Abba, Ya Bapa. Bukan lagi ilmu atau pengertian, tetapi hidup dalam Bapa, Putera dan Roh, inilah hasil dari kematian manusia mengikuti Kristus.
Renungan Harian lainnya dapat dibaca di Sejenak Eling