Ada seorang gembala yang memiliki banyak domba. Salah seekor dombanya nakal dan memiliki karakter yang sangat berbeda dengan domba-domba yang lain. Domba nakal ini selalu memisahkan diri dari kawanannya. Ketika domba-domba yang lain makan rumput secara berkelompok, dia akan keluar dari kelompoknya dan pergi ke tempat yang dia suka. Ketika gembalanya sedang menggiring domba-dombanya ke padang rumput, si domba nakal ini akan lari sendirian ke arah yang berlawanan, menjauh dari kelompoknya. Dengan setia, sang gembala selalu mencari domba nakal yang memisahkan diri itu dan menempatkannya kembali bersama kawanannya. Demikianlah yang selalu terjadi sampai akhirnya sang gembala mengadu pada Tuhan.
“Tuhan, Engkau adalah Gembala yang baik. Mazmur Daud menggambarkan Engkau sebagai Gembala yang membawa domba-domba ke padang rumput yang hijau. Sebagai seorang Gembala, aku percaya bahwa Engkau pun mengalami hal-hal yang kualami ini ketika Engkau sedang menggembalakan domba-Mu. Tuhan, Engkau Allah yang mengetahui segala sesuatu. Kalau Engkau ada pada posisiku, apa yang akan Engkau lakukan dalam menghadapi domba yang nakal itu?”
“Patahkan kakinya,” kata Tuhan.
“Haa? Patahkan kakinya?” gembala itu terkejut dan ragu.
“Ya, patahkan kakinya,” kembali Tuhan menegaskan.
Menyadari bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, dia melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Esok harinya, ketika sedang menggembalakan domba dan si domba nakal kembali melakukan kebiasaannya, si gembala mengangkatnya. Dalam hati ia berkata,
“Tuhan, aku tidak tega, tapi karena Engkau yang menyuruh aku untuk mematahkan kakinya, maka aku pun akan mematahkannya.”
Si domba nakal merintih kesakitan. Sang gembala pun tidak tahan mendengarnya. Hatinya sakit sekali mendengar rintihan itu karena ia sangat mengasihi domba itu, namun dia pun harus patuh pada apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Setelah dia mematahkan kaki si domba nakal, ia pun membalutnya.
Domba itu mendapatkan perawatan khusus. Ia makan rumput disamping gembalanya agar tidak terinjak oleh kawanannya. Setiap hari sang gembala menggendong domba nakal itu karena domba itu tidak bisa berjalan. Setiap kali domba nakal ini haus, dia akan menjilat keringat si gembala yang menggendongnya. Kepalanya selalu bersandar pada dada si gembala dan menggosokkan kepalanya ke bahu gembala itu. Singkatnya, domba nakal itu bersikap sangat manis.
Akhirnya, kakinya pun sembuh. Si gembala membuka balut kakinya dan melepaskannya untuk bermain-main dengan teman-temannya. Namun, apa yang terjadi? Domba itu tidak berlari ke kelompoknya, tapi terus merapatkan dirinya di antara kaki gembalanya, sehingga si gembala harus mengangkatnya ke tengah-tengah kelompoknya. Tetapi, si domba nakal selalu kembali dan merapatkan dirinya ke gembalanya. Melihat hal itu, si gembala bertanya lagi kepada Tuhan. Apa jawab Tuhan?
“Itulah yang tidak dimengerti oleh umat-Ku. Ketika Aku membiarkan mereka berbeban berat, terluka, atau tertimpa sesuatu, itu adalah untuk membawa mereka mendekat kepada-Ku. Aku membiarkan itu terjadi untuk membuat mereka mengerti betapa berharganya mereka di hati-Ku, betapa Aku ingin agar mereka hidup bergantung hanya pada-Ku, dekat dan intim dengan-Ku. Tapi, sering kali mereka tidak tahu. Mereka justru semakin menjauh ketika hal-hal itu terjadi.”
Gembala itu akhirnya mengerti, mengapa Tuhan menyuruh dia mematahkan kaki domba nakal itu.
“Di Sudut Hati”, Anthony Harton