Santo Paus Yohanes Paulus II

  • infokatolik
  • Apr 22, 2025

Para Kudus – 22 Oktober

Santo Paus Yohanes Paulus II
Bapa Peziarah, Karol Wojtyla, Giovanni Paolo II, Juan Pablo II, John Paul the Great

Karol Jozef Wojtyla lahir pada tanggal 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia selatan. Ayahnya yang juga bernama Karol Wojtyla adalah seorang opsir tentara Kekaisaran Habsburg Austria, dan ibunya bernama Emilia Kaczorowska, seorang keturunan Lituania. Ibunya meninggal pada 13 April 1929, ketika ia berusia delapan tahun. Kakak perempuan Karol, Olga meninggal di waktu bayi sebelum kelahiran Karol; dengan demikian dia tumbuh dan dekat dengan kakaknya Edmund yang lebih tua 14 tahun, dan punya panggilan Mundek.

Sebagai remaja, Wojtyła adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga gawang. Di masa kecilnya ia banyak memiliki sahabat orang Yahudi polandia. Pertandingan sepak bola sering diadakan antara tim Yahudi dan Katolik, dan Wojtyła biasanya secara sukarela akan menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain.

Pada pertengahan tahun 1938, Karol Wojtyła dan ayahnya meninggalkan Wadowice dan pindah ke Kraków, dimana dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai bahasa di universitas, dia menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke 36 Polandia, namun dia penganut pasifisme dan menolak menembakkan senjata. Dia juga tampil di beberapa grup teater dan menjadi penulis naskah drama. Selama masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang dan dia belajar dan menjadi fasih berbicara dalam 12 bahasa asing, sembilan diantaranya kemudian sering dipakai ketika menjadi Paus (Bahasa Polandia, Slovakia, Rusia, Italia, Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah dengan pengetahuan akan Bahasa Latin Gerejawi).

Pada usia 20, Santo John Paul II sudah kehilangan semua orang yang dicintainya. Ayahnya, meninggal karena serangan jantung pada 1941, meninggalkan Karol seorang diri dari sisa keluarga. “Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya” katanya, menceritakan masa-masa kehidupannya ketika itu, hampir empat puluh tahun kemudian.
Dia kemudian mulai berpikir serius untuk menjadi pastor setelah kematian ayahnya. Pada Oktober 1942 dia mengetuk pintu Wisma Uskup Agung di Kraków, dan menyatakan bahwa dia ingin belajar menjadi pastor. Tidak lama kemudian, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung Kraków Kardinal Adam Stefan Sapieha.

Setelah menyelesaikan pendidikan seminari di Kraków, Karol Wojtyła ditahbiskan sebagai pastor di Hari Para Orang Kudus pada 1 November 1946, oleh uskup agung Kraków, Kardinal Adam Stefan Sapieha. Dia kemudian berangkat untuk belajar teologi di Roma, di Universitas Kepausan Santo Thomas Aquinas (Pontifical International Athenaeum Angelicum), dimana dia kemudian mendapat Diploma Teologi Suci dan kemudian Doktor Teologi Suci. Gelar Doktorat ini yang pertama dari dua, didasarkan pada disertasi Latin “Doktrin Iman Menurut Santo Yohanes dari Salib Suci”

Dia kembali ke Polandia pada musim panas 1948 dengan tugas pertama pastoral di desa Niegowić, lima belas mil dari Kraków. Setibanya di Niegowić pada musim panen, tindakan pertama yang dilakukannya adalah berlutut dan mencium lantai. Tindakan ini diadaptasi dari kebiasaan santo Jean Marie Baptiste Vianney yang berasal dari Perancis, yang kemudian menjadi ciri khasnya ketika menjadi Paus.

Pada 4 Juli 1958 Paus Pius XII mengangkatnya menjadi uskup pembantu (auxiliary bishop) di Kraków. Dia dipanggil ke Warsawa, untuk bertemu Primat Polandia Kardinal Stefan Wyszyński, yang memberitahunya mengenai pengangkatannya. Dia menyetujui untuk membantu uskup agung Eugeniusz Baziak sebagai uskup pembantu, dia ditahbiskan ke keuskupan menggunakan nama Uskup Ombi pada 28 September 1958. Waktu itu usianya baru 38 tahun dan ia menjadi uskup termuda di Polandia. Uskup Baziak wafat pada Juni 1962 dan pada 16 Juli 1962, Karol Wojtyła terpilih sebagai Vicar Capitular, atau administrator sementara keuskupan agung sampai uskup agung baru terpilih.

Agustus 1978 Paus Paulus VI wafat. Karol Wojtyła yang saat itu sudah diangkat menjadi seorang Kardinal ikut menghadiri konklaf Paus yang akhirnya memilih Kardinal Albino Luciani, Kardinal Venesia, sebagai Paus Yohanes Paulus I. Namun tidak diduga pada tanggal 28 September 1978, hanya 33 hari setelah menjabat, Paus Yohanes Paulus I wafat. Kardinal Wojtyła kembali lagi ke Vatikan untuk menghadiri konklaf kedua yang diadakan diadakan tanggal 14 Oktober, sepuluh hari setelah pemakaman Paus Yohanes Paulus I.

Kardinal Wojtyła dengan tidak disangka-sangka akhirnya terpilih untuk menjadi paus. Dia kemudian memilih nama Yohanes Paulus II untuk menghormati pendahulunya, dan menerima pemilihannya dengan kata-kata: “Dengan ketaatan dalam iman Kristus, Tuhanku, dan dengan kepercayaan pada Bunda Kristus dan Gereja, meskipun dalam kesulitan yang besar, saya menerima”

Kardinal Wojtyła menjadi Paus yang ke-264 menurut dan menjadi Paus yang bukan orang Italia pertama sejak 455 tahun. Dengan usia 58 tahun, dia adalah Paus termuda yang dilantik sejak Paus Pius IX pada 1846, yang berusia 54 tahun.

Selama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II melakukan perjalanan ke 129 negara, dan mencatat lebih dari 1,1 juta kilometer jarak perjalanan. Dia selalu menarik perhatian banyak orang dalam perjalanannya, beberapa kunjungannya dicatat menghadirkan kumpulan manusia yang terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah. Seperti saat ia menghadiri Hari Pemuda Sedunia di Manila tahun 1995, dimana berkumpul sekitar 5 juta orang. Sebagian orang memperkirakan bahwa ini mungkin merupakan perkumpulan orang Kristen terbesar yang pernah ada.

Paus Yohanes Paulus II melakukan sangat banyak perjalanan dan bertemu dengan para penganut agama dan kepercayaan lain. Dia selalu mencoba mencari dasar yang sama untuk berkomunikasi, baik doktrin atau dogma. Pada hari Doa Sedunia untuk Perdamaian, yang diadakan pada 27 Oktober 1986 di Assisi, Paus menghimpun lebih dari 120 wakil agama dan kepercayaan serta berbagai denominasi Kristen meluangkan waktu sehari bersama untuk berpuasa dan berdoa.

Pada 13 Mei 1981, Yohanes Paulus II hampir tewas ketika ditembak oleh Mehmet Ali Ağca, seorang muslim ekstremis Turki, kala ia memasuki lapangan Santo Petrus untuk bertemu umat. Ali Ağca akhirnya dihukum penjara seumur hidup.

Mengapa, bagaimana dan atas perintah siapa percobaan pembunuhan ini dilakukan, masih tetap berupa misteri sampai akhir Maret 2005. Dikatakan dokumen-dokumen penting dari negara-negara mantan anggota Uni Soviet menunjukkan bahwa KGB bertanggung jawab. Motif pembunuhan masih diperdebatkan. Salah satu kemungkinan ialah bahwa rezim komunis Uni Soviet sangat takut akan pengaruh Paus Polandia ini akan stabilitas negara-negara satelit Soviet di Eropa Timur, terutama di Polandia sendiri.

Dua hari setelah Natal, pada 27 Desember 1983, Paus menjenguk orang yang telah mencoba membunuhnya di penjara. Keduanya bercakap-cakap dan berbincang-bincang beberapa lama. Setelah pertemuan ini, Paus kemudian berkata: “Apa yang kita bicarakan harus merupakan rahasia antara dia dan saya. Ketika berbicara dengannya saya anggap ia adalah seorang saudara yang sudah saya ampuni dan saya percayai sepenuhnya.”

Sebuah percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada 12 Mei 1982, di Fatima, Portugal ketika seorang pria berusaha menikam Paus dengan sebilah bayonet, tetapi dicegah oleh para penjaga. Si pembunuh, adalah seorang pastor ultrakonservatif, berhaluan keras, seorang warganegara Spanyol, bernama Juan María Fernández y Krohn. Dilaporkan ia menentang reformasi Konsili Vatikan II dan memanggil Paus sebagai “Orang Polandia” dan seorang “agen dari Moskwa.” Ia kemudian divonis hukuman penjara enam tahun dan lalu diekstradisi dari Portugal.

31 Maret 2005 Yohanes Paulus II mengalami septic shock; sebuah gejala penyebaran infeksi dengan demam tinggi dan tekanan darah turun. Ia mendapat pengawasan medis dari tim perawat di tempat tinggal pribadinya. Hari itu juga, sumber Vatikan mengumumkan bahwa Yohanes Paulus II telah diberi Sakramen pengurapan orang sakit oleh teman dan sekretarisnya Stanisław Dziwisz. Selama hari-hari terakhir kehidupan Paus, cahaya tetap dinyalakan menerangi malam dimana dia tinggal di lantai atas Istana Apostolik. Puluhan ribu umat berkumpul di Lapangan Santo Petrus dan jalan-jalan sekitarnya selama dua hari. Mendengar kabar ini, paus yang sedang sekarat berkata: “Saya telah mencari untuk Anda, dan kini Anda telah datang kepada saya, dan saya berterima kasih.”

Sabtu, 2 April 2005, sekitar pukul 15.30 CEST, Yohanes Paulus II mengatakan kata terakhirnya dalam bahasa Polandia, “pozwólcie mi odejść do domu Ojca”, (“biarkan aku pergi ke rumah Bapa”), kepada pendampingnya, dan mengalami koma sekitar empat jam kemudian. Santo Paus Johannes Paulus II meninggal di apartemen pribadinya jam 21:37 CEST (19:37 UTC), 46 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-85.

Kematian Paus Yohanes Paulus II diiringi ritual berusia berabad-abad lamanya dan tradisi yang berawal sejak abad pertengahan. Upacara Pengunjungan berlangsung dari 4 April hingga pagi hari tanggal 8 April di Basilika Santo Petrus. Surat wasiat Paus Yohanes Paulus II yang dipublikasikan pada 7 April mengungapkan bahwa paus berkeinginan dimakamkan di tanah kelahirannya Polandia namun tergantung dari para Kardinal, yang kemudian memutuskan agar paus yang kudus ini dikebumikan di katakombe di bawah basilika.

Misa Requiem tanggal 8 April dipimpin oleh Kardinal Joseph Ratzinger sebagai Dekan Dewan Kardinal dan dihadiri lebih dari 180 orang Kardinal dari berbagai negara. Misa ini menjadi misa yang memecahkan rekor dunia dalam hal jumlah kehadiran umat dan banyaknya kepala negara yang hadir. Ini adalah hari berkumpulnya para kepala negara terbesar dalam sejarah, mengalahkan pemakaman Winston Churchill (1965) dan Josep Broz Tito (1980). Empat raja, lima ratu, dan sedikitnya 70 presiden dan perdana menteri, serta lebih dari 14 pimpinan agama dari agama selain Katolik menghadiri pemakaman.

Pemakaman Paus Yohanes Paulus II menjadi pelayatan terbesar dalam sejarah masa Kristen sejak Perang Salib, lebih dari 4 juta pengunjung dari luar kota Roma datang ke Vatikan ditambah dengan lebih dari 3,7 juta penduduk yang menetap di Roma. Namun dari semuanya hanya 2 juta orang yang diizinkan untuk melihat jenazah Yohanes Paulus II.

Dekan Para Kardinal, Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi paus berikutnya, memimpin upacara. Yohanes Paulus II dikebumikan di katakombe di bawah basilika, makam para Paus. Ia dikebumikan di liang makam yang sebelumnya dipakai oleh jenazah Paus Yohanes XXIII. Liang itu telah dikosongkan karena jenazah Paus Yohanes XXIII telah dipindahkan ke ruang lain di basilika setelah ia dibeatifikasi.

Gelar yang Agung ( The Great )
Sejak wafatnya Yohanes Paulus II, sejumlah imam di Vatikan dan kaum awam di seluruh dunia telah menyebutnya “John Paul The Great”; sepanjang sejarah hanya empat paus yang disebut demikian, dan ia adalah yang pertama pada milenium ini.

Hukum Kanonik mengatakan bahwa tidak ada proses resmi untuk menyatakan seorang Paus mendapatkan gelar “Yang Agung”; gelar ini muncul sendiri melalui penggunaan populer dan terus menerus, seperti juga pada kasus pemimpin sekuler (sebagai contoh, Aleksander III dari Makedonia menjadi populer dan dikenal sebagai Aleksander Agung. Tiga paus saat ini yang diketahui menyandang “Yang Agung” adalah St.Paus Leo I, yang memimpin dari 440-461 dan membujuk Attila (Attila the Hun) untuk mundur dari Roma; St.Paus Gregorius I, 590-604, yang mengilhami penamaan kidung Gregorian; dan Paus Nikolas I, 858-867.

Penerusnya Paus Benediktus XVI, menyebutnya “Paus Yohanes Paulus II yang agung” pada pidato awalnya dari loggia Gereja Santo Petrus, dan menyebutkan Paus Yohanes Paulus II sebagai “Agung” di homili yang diterbitkan pada Misa pemakamannya (Mass of Repose).

Sejak memberikan homili pada pemakaman Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktus selalu menyebut Yohanes Paulus II sebagai “yang Agung”. Pada Hari Pemuda Dunia ke-20 di Jerman 2005, Paus Benediktus XVI, berbicara dalam bahasa Polski, bahasa ibu Yohanes Paulus II, mengatakan, “Seperti Paus Yohanes Paulus II yang Agung akan berkat: jagalah api keimanan dalam kehidupanmu dan kerabat dekatmu.” Pada Mei 2006, Paus Benediktus XVI mengunjungi tanah kelahiran Yohanes Paulus II di Polandia. Selama kunjungannya, ia berulang kali menyebut “Yohanes Paulus yang Agung” dan “pendahulu saya yang agung”.

Sebagai tambahan Vatikan menyebutnya “yang Agung,” banyak surat kabar melakukannya juga. Contohnya, koran Italia Corriere della Sera menyebutnya “yang sangat Agung” dan koran Katolik Afrika Selatan, The Southern Cross, menyebutnya “Yohanes Paulus II Yang Agung”.
Julukan “The Great” (yang agung) akhirnya melekat dalam setiap penyebutan nama Paus Yohanes Paulus II.

Beatifikasi dan Kanonisasi
Sesaat setelah misa Requem dari kerumunan umat yang menghadiri upacara itu terdengar seruan yang terus – menerus dan berulang-ulang : “Santo Subito!” (“jadikan Santo Segera!”). Paus Benediktus XVI memulai proses beatifikasi kepada pendahulunya, melewati batasan normal bahwa lima tahun harus berlalu setelah wafatnya seseorang sebelum proses beatifiksi bisa dimulai. Pada audiensi dengan Paus Benediktus XVI, Camillo Ruini, Vikaris Jenderal Keuskupan Roma dan orang yang bertanggung jawab untuk mempromosikan alasan kanonisasi seseorang, mengutip “keadaan luar biasa” yang menyebabkan masa menunggu bisa diabaikan. Keputusan ini diumumkan pada 13 Mei 2005, pada Perayaan Our Lady of Fátima dan peringatan 24 tahun percobaan pembunuhan Yohanes Paulus II di lapangan Santo Petrus.

Pada awal 2006, dilaporkan bahwa Vatikan sedang menyelidiki kemungkinan mukjizat terkait dengan Yohanes Paulus II. Suster Marie Simon-Pierre, seorang biarawati Perancis dan anggota Konggregasi Little Sisters of Catholic Maternity Wards, yang hanya bisa tergolek di tempat tidurnya karena penyakit Parkinson, dilaporkan mendapatkan pengalaman “kesembuhan total setelah anggota komunitasnya berdoa baginya dengan perantaraan Paus Yohanes Paulus II”.

Pada Mei 2008, Sister Marie-Simon-Pierre, dapat berkarya lagi di rumah sakit ibu dan anak yang dioperasikan oleh biaranya. “Saya sakit dan sekarang saya telah disembuhkan,” dia mengatakan pada wartawan Gerry Shaw. “Saya sembuh, namun ini terserah gereja apakah ini adalah mukjizat atau bukan.”

Pada Februari 2007, peninggalan Paus Yohanes Paulus II berupa potongan jubah putih yang sering ia gunakan mulai didistribusikan bersama kartu doa untuk suatu alasan, sebuah kebiasaan khas setelah meninggalnya seorang Katolik yang saleh.

Pada peringatan tahun keempat wafatnya Paus Yohanes Paulus II, 2 April 2009, Kardinal Dziwisz, memberitahu wartawan tentang mukjizat yang baru saja muncul di makamnya di Basilika Santo Petrus. Seorang anak laki Polandia berusia sembilan tahun dari Gdańsk, yang menderita kanker ginjal dan tidak bisa berjalan, berziarah ke makam Paus Yohanes Paulus II bersama orang tuanya. Ketika meninggalkan Basilika Santo Petrus, anak itu mengatakan, “Saya ingin berjalan,” dan ia mulai bisa berjalan normal.

Pada 16 November 2009, sebuah panel peninjau dari Congregation for the Causes of Saints mengambil suara secara tertutup bahwa Paus Yohanes Paulus II telah hidup dalam kebajikan. Pada 19 Desember 2009, Paus Benediktus XVI menanda tangani satu dari dua dekrit (keputusan) yang diperlukan untuk beatifikasi dan menyebut Yohanes Paulus II “Yang Mulia”, untuk menandakan bahwa ia hidup dalam kegagahan dan kebajikan. Pengambilan suara kedua dan dekrit kedua ditanda tangani untuk menandai kebenaran dari mukjizatnya yang pertama (suster Marie Simon-Pierre, biarawati Perancis yang sembuh dari penyakit Parkinson). Begitu dekrit kedua ditanda tangani, positio (laporan alasan, dengan dokumentasi kehidupannya dan tulisan-tulisannya ditambah informasi tentang alasannya) telah dianggap lengkap. Dia dapat di beatifikasi.

Vatikan mengumumkan pada 14 Januari 2011 bahwa Paus Benediktus XVI telah mengkonfirmasi mukjizat yang terkait suster Marie Simon-Pierre dan Yohanes Paulus II dapat di beatifikasi pada 1 Mei, Minggu Rahmat Ilahi dalam oktaf Paskah dan awal bulan Rosario. 1 Mei juga dirayakan di bekas negara-negara komunis seperti Polandia. dan beberapa negara Eropa Barat sebagai May Day (Hari Buruh), dan Paus Yohanes Paulus II sangat dikenal dalam banyak hal, termasuk dalam kontribusinya dalam runtuhnya Komunisme Eropa Timur dengan damai, yang juga terbukti kebenarannya oleh kesaksian bekas presiden Soviet Gorbachev pada saat wafatnya Yohanes Paulus II.

Pada 29 April 2011, mengawali beatifikasinya peti mati Paus Yohanes Paulus II digali, sementara puluhan ribu umat mulai berdatangan ke Roma untuk peristiwa besar sejak pemakamannya pada tahun 2005. Peti tertutup berisi jenazah Yohanes Paulus II dipindahkan dari gua di bawah Basilika Santo Petrus ke monumen batu marmer di Kapel Santo Sebastian, Pier Paolo Christofari, dimana Yang Diberkati (Beato) Paus Innosensius XI dimakamkan. Lokasi yang lebih baik ini, dekat Kapel Pieta, Kapel Sakramen Mahakudus dan patung dari Paus Pius XI dan Paus Pius XII, akan memungkinkan lebih banyak peziarah mengunjungi makamnya.

Tanggal 1 Mei 2011 Secara resmi Paus Benediktus XVI memaklumkan Paus Johannes Paulus II sebagai Beato dan pada tanggal 27 April 2014 ia dikanonisasi oleh Paus Fransiskus.

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *