Ketika tinggal di Perancis, penyair Rainer Maria Rilke biasanya berjalan-jalan setiap sore. Ia melewati seorang perempuan tua peminta-minta. Perempuan itu duduk dengan tenang dan diam dan tidak menunjukkan tanda terima kasih atas pemberian dari orang yang lalu-lalang.
Suatu hari, penyair itu sedang berjalan-jalan dengan seorang gadis dan betapa kagetnya perempuan tua itu ketika penyair itu tidak memberi sedekah. Dia terheran-heran. Penyair itu menjawab, “Orang harus memberi sesuatu kepada hatinya dan bukan kepada tangannya.”
Beberapa hari kemudian penyair itu muncul dengan membawa sekuntum mawar segar. Tentu gadis itu menyangka bahwa, mawar itu untuknya. Betapa penuh perhatiannya dia! Tapi, tidak… Dia menaruh bunga itu ke telapak tangan pengemis itu.
Kemudian sesuatu yang mengagumkan terjadi. Pengemis itu berdiri, lalu meraih tangan penyair itu dan menciumnya. Dia mendekatkan mawar itu ke hatinya dan menghilang. Dia tidak muncul selama seminggu. Setelah itu dia muncul lagi dan duduk di tempat yang sama dengan gaya yang tanpa gairah dan dingin seperti sebelumnya.
“Selama seminggu itu dia hidup dari apa ya?” tanya gadis teman penyair itu.
“Hidup dari mawar,” jawabnya.
***
Ada istilah jika perbuatan jelek dilakukan seringkali akan menjadi kebiasaan buruk; dan sebuah kebiasaan buruk jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi budaya. Jika hal ini terjadi pada satu orang, mungkin tidak banyak pengaruhnya, namun bila didukung oleh banyak orang yang merasa nyaman dan menguntungkan dengan kondisi itu, maka ini bisa menjadi sebuah kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif. Maka jika kelompok ini merasa terganggu kepentingannya atau malah mau dibongkar kebusukannya, maka mereka akan marah dan berusaha membalas. Mereka sudah masuk dalam budaya kegelapan, dan sangat sulit untuk bisa melihat Terang.
Dalam kisah Injil hari ini, menceritakan tentang keberanian Nikodemus memperjuangkan kebenaran. Mengapa Nikodemus berani melawan arus, dari pandangan kaum sebangsanya? Sebab dia telah terlebih dahulu melihat Terang, dia lebih dahulu berjumpa dengan Tuhan Yesus. Nikodemus mau membuka hatinya dan Tuhan Yesus meletakkan diri-Nya pada hati Nikodemus.
Namun dalam menyampaikan kebenaran, dibutuhkan keberanian dan keteguhan iman. Karena mereka harus menghadapi berbagai sikap yang mengancam, memusuhi, disinilah orang harus menyerahkan dirinya, pasrah kepada Tuhan.
Orang banyak dan para pemimpin Yahudi masih meragukan Yesus, karena Ia berasal dari Galilea. Daerah ini tak pernah disebutkan dalam Kitab Suci sebagai tempat asal-usul para nabi. Karena itu, bagi mereka Yesus pantas diragukan dan harus ditolak. Keraguan ini tentu juga diwarnai rasa superioritas mereka sebagai bangsa terpilih. Namun, di atas semua itu, keraguan dari orang-orang Farisi ini dikarenakan mereka tak membuka diri dan membuka hati pada pengenalan yang mendalam akan Yesus. Sehingga yang ada hanya iman yang kaku dan kecurigaan.
Betapa sering dalam masyarakat, bahkan dalam Gereja yang majemuk, seorang yang terbukti baik tidak diterima, apalagi untuk memimpin hanya karena tidak sejenis dengan kelompok mayoritas. Tuhan Yesus, Dia rela lahir sebagai minoritas agar aku, agar kita lebih bisa menghargai setiap orang tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau kelompoknya.
Renungan Harian lainnya dapat dibaca di Sejenak Eling