Topeng Religius

  • infokatolik
  • Apr 11, 2024

Suatu hari minggu di Northern Minnesota, cuaca sangat buruk dan angin kencang bertiup. Seorang pastur berjalan dengan susah payah, melalui salju yang dingin ke arah gereja kecil di kota itu. Setibanya di gereja itu, ia mendapati hanya satu orang yang hadir di gereja itu, seorang petani yang duduk di deretan kursi paling depan.

Kata pastor itu, “Begini pak, cuaca hari ini sangat buruk dan di sini hanya ada kita berdua. Apakah tidak lebih baik kita batalkan saja misa hari ini dan kita kembali ke rumah masing-masing?”

“Saya tidak tahu pastur. Saya hanya tahu tentang ternak. Jika saya membawa rumput di ladang dan hanya ada satu ekor yang datang, saya masih memberi dia makan.”

Tersinggung oleh kata-kata itu, pastur itu segera merayakan misa, dia memilih bacaan Kitab Suci yang lebih panjang, berkhotbah selama empat puluh menit dan menggunakan Doa Syukur Agung yang lebih panjang.

Dengan perasaan agak puas pastor itu menyapa petani itu lagi, “Bagaimana pak? Bagus kan yang saya lakukan?”

Petani itu terdiam sejenak. “Saya tidak tahu pastur. Saya hanya tau tentang ternak. Jika saya membawa setumpuk besar rumput untuk memberi makan semua ternak saya, namun ternyata hanya ada satu yang datang, maka saya tidak akan memberi semua rumput itu.”

***

Kesombongan bisa terjadi pada siapa saja, di waktu kapan saja, dan di mana saja. Yang paling ironis, kesombongan terjadi pada sosok religius yang memegahkan kesalehannya. Bukankah seorang rohaniwan seharusnya rendah hati? Bukankah tokoh religius yang sepatutnya paling memahami tentang kesalehan yang sejati? Sekali lagi, tidak seorang pun kebal terhadap kesombongan.

Kesombongan religius yang ditunjukkan oleh orang Farisi dalam kisah Injil hari ini merujuk pada dua hal, yaitu : kesombongan karena mengandalkan kebenaran diri sendiri dan kesombongan karena memandang rendah orang lain. Dua hal ini saling terkait. Sulit memiliki yang satu tanpa memiliki yang lainnya.

Dari doa yang dipanjatkan oleh orang Farisi itu sangat terlihat bahwa dia bukan hanya sekadar meyakini kebenarannya sendiri, melainkan juga memegahkan kebenaran itu di hadapan Allah dan orang lain. Ini bukan sekadar menganggap diri benar tetapi sudah menyombongkan kebenaran diri.

Perilaku kesombongan seperti ini cukup lazim pada masyarakat saat sekarang ini. Seringkali doa telah dijadikan ajang pamer diri. Ucapan syukur kepada Allah dimanipulasi untuk menunjukkan kelebihan diri sendiri. Bukankah hal yang sama mudah kita temukan pada unggahan-unggahan di media sosial orang-orang Kristen termasuk dalam doa-doa ibadat di lingkungan? Bukan begitu? Prestasi anak atau diri sendiri ditonjolkan tetapi disamarkan dengan ucapan syukur kepada Allah? Pencapaian diletakkan di tempat teratas dan diperindah dengan ungkapan-ungkapan yang sekilas terdengar sangat rohani? Walaupun kritikan ini mungkin tidak boleh disematkan pada semua orang yang mengunggah hal-hal seperti itu, tetapi sulit menyangkali bahwa kesombongan berbalut topeng religius memang sudah semakin membudaya di tengah-tengah kita.

Renungan Harian lainnya dapat dibaca di Sejenak Eling

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *