Tukang Bakso Jadi Pastor Tentara

  • infokatolik
  • Sep 06, 2024

Pastor Paulus Nasib Suroto membuktikan bahwa panggilan itu tidak saja melayani altar.
Ia memindahkan “altar” ke dalam dunia militer.

Pastor Paulus melangkah penuh wibawa ketika namanya dipanggil menerima penghargaan sebagai murid berprestasi di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.

Paulus, demikian rekan-rekan tentara memanggilnya, lulus sebagai siswa berprestasi, juara tiga lulusan terbaik TNI Angkatan Udara (AU) dari 66 perwira muda.

Setelah digembleng selama lima bulan, kini Pastor Paulus, selain sebagai seorang imam, juga tentara aktif berpangkat letnan dua.

Ia dilantik bersama 269 perwira lulusan pendidikan pertama prajurit karier (Dikmapa PK) TNI Angkatan XXV/2018, dilantik oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa, 15 Mei 2018 lalu.

“Saya harus menunjukkan yang terbaik sebab di pundak saya ada dua institusi.
Sebagai pastor saya adalah Wakil Gereja Katolik dan sebagai perwira AU membawa nama baik institusi militer,”

Perjalanan hidup bungsu enam bersaudara anak pasangan Matius Karjiyo dan Maria Kasminah ini sebenarnya biasa-biasa saja.
Dalam keluarga, Paulus tidak terlalu menonjol apalagi soal disiplin, menjalani hidup layaknya anak muda.
Tidak pernah terlintas di benaknya, ia akan menjadi perwira TNI AU, keinginan menjadi imam lebih besar, dari pada keinginannya menjadi perwira militer.

Paulus lebih ingin menjadi perwira Kristus yang bekerja di ladang penggembalaan Allah.
Menjalani hidup di seminari pun Paulus kerap disapa “tukang bakso” oleh para frater.
Sebelum menjadi seminaris, Paulus pernah berdagang bakso di Bandar Lampung.
“Sebelum masuk seminari, hampir selama 4,5 tahun saya jadi tukang bakso dan pernah jualan sembako,” ujarnya.

Imam Diosesan Malang ini, sejak usia SMP sudah hidup terpisah dari kedua orangtuanya.
Saat harus melanjutkan pendidikan menengah, Paulus masuk SMP Katolik Mgr. Soegijapranata, Tanggul-Jember atas bantuan Sr Cecilia SPM dan melanjutkan pendidikan ke SMA Satya Cendika, Jember.

Kebiasaan hidup mandiri itulah yang menjadi alasan Paulus memantapkan hatinya menjadi pastor.

Masa SMP dan SMA di tempat yang jauh dari orang tua dengan sendirinya melatih Paulus menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
“Kepada kakak saya yang menjadi biarawati, Sr Christina SPM (Alm), saya pernah janji kelak akan masuk seminari untuk jadi pastor,” kenangnya.

Paulus sebenarnya ingin kuliah dan mendaftar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Namun impiannya harus urung, ia sadar biaya kuliah mahal sehingga pasti sulit bagi orangtuanya.
“Saya hanya sempat mendaftar saja, lupa jurusan apa karena kemudian saya pulang ke Lampung.” katanya.

Di Lampung, Paulus enggan tinggal di kampung halaman.
Ia ingin kerja untuk meringankan beban orangtuanya yang hanya sebagai penjualan tape singkong.
Paulus lalu diterima bekerja di sebuah warung bakso di Bandar Lampung.
Pedagang bakso asal Wonogiri, Jawa Tengah itu memperkerjakan Paulus sebagai pencuci mangkuk.

Saat di Bandar Lampung, Paulus jarang pulang ke rumah orang tuanya meski jarak antara tempat jualan bakso dengan rumah hanya sekitar 30 kilometer, atau bisa ditempuh dalam waktu setengah jam.
“Anak-anak muda di kampung suka mabuk-mabukan, amburadul.
Kalau saya pulang, saya khawatir hanya ‘dipajekin’ (dipalak) temen untuk beli miras,” ungkapnya.

Seiring waktu, Paulus pun menjadi tangan kanan majikannya.
Ia mendapat kebebasan untuk mengembangkan usaha sesuai keinginannya.
Dari hasil bakso ini, ia bisa membantu meringankan beban orang tua.
“Saya bangga karena bisa membantu orang tua membeli pupuk dan membayar tagihan listrik rumah,” imbuhnya.
Bertahun-tahun menjalani profesi sebagai tukang bakso, Paulus merasa tidak puas dengan apa yang didapatkannya.

Paulus terusik batinnya, diingatkan lagi dengan janjinya kepada sang kakak Suster Cecil yang berkarya di Jember dan selalu mendoakannya.
“Beliau pernah berpesan, ke mana pun saya pergi, jadi apa pun, berhasil seperti apa pun, harus ingat janji dulu untuk masuk seminari,” bebernya.

Lewat usaha yang sulit, ia berhasil menghubungi Pastor Eko Aldilanto OCarm dan mengontak Pastor Fadjar Tedjo yang adalah imam Diosesan di Malang.
Tanpa canggung, Paulus menceritakan keinginannya menjadi imam diosesan.
Paulus sudah jatuh cinta dengan Keuskupan Malang karena kultur masyarakatnya sudah dipahami.
Dengan bantuan Pastor Fadjar, Paulus masuk Postulat Stella Maris meniti hidup sebagai calon imam.
Paulus melanjutkan tahap formatio karena mendapat panggilan “terlambat”.
Dengan bimbingan Pastor Joseph Krisanto di Tahun Orientasi Rohani, dia diterima di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni, Malang.

Pada 25 Agustus 2016, ia ditahbiskan menjadi imam dan langsung mendapat tugas di Paroki Maria Bunda Karmel, Probolinggo.
Tiga bulan menjadi imam projo, Pastor Paulus tiba-tiba membaca pengumuman dari Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto Gunawan OCarm.
Sang uskup menawarkan, kalau ada imam yang terpanggil untuk berkarya sebagai anggota TNI, kemudian Paulus mencoba mendaftar.

Pada Februari 2017, Pastor Paulus memberanikan diri menghadap Bapak Uskup, Mgr Pidyarto.
Ia mengutarakan, kalau sekiranya diizinkan, akan mendaftar menjadi imam sekaligus berkarya sebagai perwira TNI.
Mendengar niat ini, Mgr Pidyarto menanggapi serius.
“Saya senang kalau romo mau dan sanggup menekuni.
Romo saya persembahkan untuk negara,” jelas Pastor Paulus menirukan pesan sang uskup.

Selanjutnya, pastor hitam manis ini mendaftar di Lanud Abdul Rachman Saleh Malang dan berhasil lulus.
Pastor Paulus, saat ini sebagai perwira rohani Katolik dan Pastor Militer organik kedua di Indonesia, setelah Pastor Letkol (Sus) Yos Bintoro.

***

Tuhan, dampingilah dan bimbinglah para Imam-Mu dalam karya pelayanannya, semua demi kebesaran nama-Mu.

Sumber : Hidupkatolik.com

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *